Reporter: Muhammad Julian | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar rokok elektrik terus menghadirkan tantangan bagi pelaku industrinya. Di China, aktivitas industri rokok elektrik dikabarkan tengah mengalami perlambatan.
Seperti yang diberitakan Kontan.co.id sebelumnya, pabrik-pabrik di Kota Shenzen, wilayah di China Selatan yang menjadi tempat dibuatnya 90% rokok elektrik dunia diketahui memperlambat produksi serta melakukan pemangkasan terhadap sekitar 50.000 karyawan atau sekitar 10% dari jumlah pekerja di sektor tersebut.
Baca Juga: Pro kontra vape lenyapkan target pasar rokok elektronik ini sampai US$ 10 miliar
Dugaannya, hal ini dipicu oleh ketatnya peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah Amerika Serikat dan China sendiri perihal aturan main rokok elektrik. Maklum saja, Amerika Serikat merupakan salah satu pasar rokok elektrik yang menjadi kiblat bisnis rokok elektrik di Cina.
Di pasar rokok elektrik Amerika Serikat sendiri, penjualan vape tercatat mengalami penurunan. Menurut catatan Kontan.co.id (14/1), studi berjudul Cannabis Vaping: Opportunities in an Uncertain Future yang dirilis belum lama ini mengungkapkan bahwa penjualan vape yang mencapai puncaknya sebesar US$ 160 juta pada Agustus 2019 mengalami penurunan sebesar US$ 41 juta dalam waktu dua bulan menjadi US$ 119 juta pada Oktober 2019.
Sementara itu, kondisi di Indonesia sendiri tidak kalah menantang. Sebagaimana yang telah dimuat dalam pemberitaan Kontan.co.id (27/12/19) sebelumnya, Pemerintah Indonesia dikabarkan tengah merevisi Peraturan Pemerintah nomor 109 tahun 2012 yang mengatur tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Baca Juga: Perusahaan rokok elektrik China, Relx Technology siap ekspansi besar-besar
Dalam revisi tersebut, kabarnya terdapat beberapa usulan tambahan berupa larangan atas tambahan perasa, pewarna, dan penguat aroma rokok. Berdasarkan perkembangan terakhir, revisi beleid tersebut diketahui sudah masuk ke dalam pembahasan panitia antar kementerian.
Kendari begitu, kondisi yang demikian agaknya tidak lantas menyurutkan optimisme pelaku industri rokok elektrik di dalam negeri. President Director PT NCIG Indonesia Mandiri Roy Lefrans mengaku optimis pihaknya mampu mencatatkan penjualan rokok elektrik lebih baik dibanding tahun lalu pada tahun ini.
Mengutip data World Health Organization (WHO) 2018, Ia mengatakan bahwa dari sebanyak 30% perokok Indonesia yang ingin berhenti merokok hanya sekitar 9,5% yang berhasil berhenti. “Artinya rokok elektrik bisa jadi harapan baru bagi mereka untuk berhenti dari rokok konvensional,” ujar Roy kepada Kontan.co.id (14/1).
Namun demikian, Ia tidak memungkiri bahwa persoalan-persoalan seperti kampanye hitam terhadap penggunaan rokok elektrik serta penerapan cukai yang tinggi masih menjadi tantangan bagi pelaku industri rokok elektrik.
Baca Juga: Harga saham emiten rokok kembali naik, ini penyebabnya menurut analis
Kondisi pasar yang cukup menantang juga rupanya tidak lantas menghentikan laju pelaku industri rokok elektrik untuk terus melancarkan agenda ekspansinya. Head of Communications JUUL Labs Indonesia , Reza Amirul Juniarsah mengatakan JUUL Labs berencana menambah jaringan gerai pada tahun ini.
Reza tidak merinci jumlah penambahan gerai yang ingin dikejar. Yang jelas, Ia menyebutkan bahwa penambahan gerai-gerai baru akan menyasar wilayah di luar Jakarta.
Menurut keterangan Reza, saat ini produk-produk JUUL tersedia di sebanyak 2.000 gerai ritel yang tersebar di wilayah Indonesia. “Jumlah ini sudah termasuk gerai resmi JUUL yang berlokasi di Cilandak Town Square, Pacific Place Mall, dan Beachwalk Bali,” jelas Reza kepada Kontan.co.id (15/1).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News