Reporter: Filemon Agung | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) menjadi salah satu andalan pemerintah dalam mengejar target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) 23% pada 2025 mendatang.
Merujuk draft Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, target penambahan kapasitas PLTS hingga 2030 mencapai 5.969 MW. Di mana berdasarkan rekapitulasi sementara ini, sebanyak 1.408 MW sudah tuntas pembahasannya dan 4.561 MW perlu didiskusikan lebih lanjut.
Dengan demikian, dari target penambahan pembangkit sebesar 40.967 MW (40,97 GW) maka PLTS bakal berkontribusi sekitar 14,57%.
Kendati demikian, upaya pemanfaatan PLTS ini dihadapkan dengan kesiapan industri pemasok komponen dalam negeri yang dinilai masih sulit memenuhi ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).
Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa mengungkapkan upaya pemenuhan TKDN hingga 60% sesuai yang tertuang dalam Permen Perindustrian Nomor 4 Tahun 2017 tentang Perhitungan Kandungan Lokal dalam Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sukar untuk dicapai.
Baca Juga: Terkuak, kapasitas PLTP di RUPTL 2021-2030 menyusut hingga 50%, ada apa?
Fabby menjelaskan, industri modul surya dalam negeri masih terbatas pada perakitan. Sejumlah komponen juga masih diimpor. Dengan kondisi terebut, Fabby menilai perlu ada relaksasi penerapan TKDN untuk modul surya dan baterai.
"Untuk modul surya, saya kira relaksasi minimal 3 tahun. Menunggu adanya industri sel surya terbangun dan beroperasi, dan permintaan modul surya dalam negeri meningkat," kata Fabby kepada Kontan.co.id, Senin (21/6).
Dia menambahkan, jika pemenuhan TKDN dipaksakan justru bisa berimbas pada tidak tercapainya pelaksanaan proyek PLTS skala besar. Di sisi lain, harga modul surya buatan dalam negeri 40% lebih tinggi ketimbang impor. Dengan demikian turut berdampak pada keekonomian proyek.