Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku usaha di industri kaca berhadapan dengan sejumlah kendala. Tantangan pada tahun ini datang dari dalam negeri dan terganjal oleh faktor eksternal.
Ketua Asosiasi Produsen Gelas Kaca Indonesia (APGI) Henry T. Susanto memprediksi tingkat utilisasi industri gelas kaca pada tahun ini akan turun ke level 70%. Lebih rendah dibandingkan utilisasi pada tahun lalu yang mencapai 77%.
Henry menyoroti sejumlah faktor yang berpotensi menekan utilisasi. Pertama, ketidakpastian gas. Industri kaca masih menjadi bagian dari tujuh sektor yang menjadi sasaran Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT).
Mengacu pada Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 76.K/MG.01/MEM.M/2025, harga gas bumi sebagai bahan bakar dipatok sebesar US$ 7 per million british thermal unit (MMBTU). Sedangkan untuk bahan baku sebesar US$ 6,5 per MMBTU.
Baca Juga: Industri Gelas Kaca Harap Kebijakan HGBT Terbaru Diterapkan Secara Penuh
Tetapi, Henry menyampaikan bahwa terjadi penurunan kuota gas yang menyebabkan ketidakpastian harga gas. Pabrik pun harus membayar harga gas rata-rata hingga di atas US$ 12 per MMBTU.
Padahal, biaya energi berkontribusi cukup signifikan, hingga 25%-30% dari biaya produksi.
"Banyak pabrik gelas yang menurunkan output produksi hanya untuk memakai gas sesuai kuota yang diberikan daripada memakai gas di atas kuota. Dengan demikian, banyak pabrik gelas bekerja di bawah kapasitas," terang Henry kepada Kontan.co.id, Jumat (16/5).
Kedua, tekanan dari sisi pasar. Henry mengungkapkan ada indikasi penurunan permintaan. Di dalam negeri, banyak pihak yang masih menahan pengeluaran dengan mempertimbangkan dinamika ekonomi dan lesunya daya beli masyarakat.
Sementara di luar negeri, industri masih dibayangi oleh dampak eskalasi geo-politik dan efek perang tarif. "Kondisi ini menyebabkan ketidakpastian perdagangan dan menurunkan permintaan pasar," imbuh Henry.
Ketua Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) Yustinus Gunawan punya catatan serupa. Tekanan ekonomi dan pelemahan daya beli berdampak pada sejumlah sektor, termasuk properti dan otomotif, yang menjadi pasar utama bagi industri kaca lembaran.
Dari faktor global, muncul secercah harapan dari melunaknya perang tarif antar Amerika Serikat dan China. Namun, pelaku industri tetap mesti berhati-hati karena kebijakan proteksionisme global bisa mengganjal peluang untuk memperluas pasar ekspor.
Baca Juga: Harga Gas Mahal, Produsen Gelas Kaca Akui Sulit Kerek Harga Produk
Di sisi lain, persaingan dengan produk impor juga masih bisa menjadi kendala. "(Akibat perang dagang) bisa saja banyak "produk nyasar" yang masuk ke Indonesia. Jadi kuncinya adalah daya saing yang harus kuat," kata Yustinus.
Menurut Yustinus, salah satu instrumen untuk memperkuat daya saing adalah dengan biaya produksi yang terjangkau. Dus, implementasi HGBT sesuai harga dan kuota yang sesuai ketentuan, juga menjadi sorotan dari pelaku industri kaca lembaran.
"Daya saing yang kuat didapat dari biaya produksi yang reasonable, didukung dengan harga gas bumi terjangkau, dalam hal ini kebijakan HGBT. Energi kurang, pertumbuhan kurang, sangat sederhana," kata Yustinus.
Dari sisi produksi, total kapasitas terpasang nasional saat ini mencapai sekitar 2 juta ton per tahun. Dari kapasitas tersebut, Yustinus memprediksi utilisasi produksi industri kaca lembaran bisa menyentuh 70% atau mencapai 1,4 juta ton pada 2025.
Hanya saja, perlu dicatat bahwa tingkat utilisasi 70% tersebut merupakan estimasi dengan skenario yang optimistis. Pasar domestik diperkirakan bisa menyerap sebanyak 900.000 ton, sehingga 500.000 ton mesti diekspor.
"Angka tersebut mungkin saja sebatas harapan. Artinya ini peluang sekaligus tantangan," tandas Yustinus.
Selanjutnya: PLN Indonesia Power Pasok 475 Megawatt Listrik ke Wilayah Timur Indonesia
Menarik Dibaca: Havaianas dan Dolce&Gabbana Luncurkan Koleksi Baru, Perkuat Segmen Fashion Premium
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News