Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) meminta penyusunan Rancangan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas) sepenuhnya berbasis pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 dan mempertegas peran negara melalui badan usaha milik negara (BUMN).
Aspermigas menilai struktur hukum migas pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 36/PUU-X/2012 belum menemukan bentuk yang konstitusional. Lebih lanjut, pembentukan SKK Migas melalui Perpres Nomor 9 Tahun 2013 sebagai produk hukum yang cacat, karena berdiri di atas landasan UU Migas 2001 yang telah dibatalkan MK.
Ketua Umum Aspermigas Mustiko Saleh mengungkapkan, pengelolaan sektor migas harus kembali kepada prinsip dasar konstitusi. Yakni, kekayaan alam dan cabang produksi penting dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Menurut Mustiko, kuasa pertambangan tidak boleh dipindah-pindahkan ke entitas lain. Pelaksananya harus BUMN Migas dan bukan pemerintah langsung.
"Maka itulah perlu dibentuk yang namanya Badan Usaha Milik Negara tentang pertambangan minyak dan gas bumi. Kuasa usaha pertambangannya ini ada di BUMN," kata Mustiko dalam rapat bersama Komisi XII DPR, Selasa (22/7/2025).
Baca Juga: Mulai Dibahas DPR, Revisi UU Migas Akan Bentuk Badan Usaha Khusus & Petroleum Fund
Untuk itu, Aspermigas mengusulkan pembentukan BUMN khusus di bidang migas sebagai pelaksana kuasa usaha pertambangan. BUMN ini berbeda dengan PT Pertamina (Persero) yang saat ini beroperasi sebagai entitas komersial.
"Pertamina ini bukan (PT) Pertamina (Persero) yang sekarang ya, tapi perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi negara yang nanti akan dibuat oleh undang-undang baru itu," ungkap Mustiko.
Lebih lanjut, Aspermigas juga mengusulkan agar kegiatan usaha migas kembali dilakukan secara terintegrasi atau bundling dari hulu (upstream), tengah (midstream), hingga hilir (downstream), termasuk pemasaran. Skema non-bundling seperti saat ini dinilai tidak efisien, birokratis, dan membuka celah korupsi.
"Non-bundling, itu high cost. Birokratif, merugikan. Terlalu banyak peraturan-peraturan dan itu sumber dari korupsi. Itu yang saya katakan mengenai salah satu kegiatan prinsip-prinsip di dalam penyusunan undang-undang Migas," jelas Mustiko.
Selain itu, Aspermigas menilai skema kerja sama government to business (G to B) yang selama ini diterapkan menempatkan negara pada posisi rawan. Sebaliknya, Aspermigas mendorong agar skema kerja sama berbasis business to business (B to B) dengan kontraktor migas lebih dikedepankan. Pasalnya, jika pemerintah langsung yang jadi pelaku usaha, maka ketika ada sengketa bisnis bakal ditarik ke arbitrase.
"Bagaimana suatu pemerintah yang mempunyai sovereignty (kedaulatan) yang tinggi, dia harus tunduk kepada satu institusi arbitrase?," tutur Mustiko.
Baca Juga: UU Migas Sudah Tak Relevan, Pemerintah dan DPR Diminta Segera Tuntaskan Revisi
Menurut Aspermigas, jika pemerintah ditempatkan sebagai pemegang kuasa usaha pertambangan, maka konsekuensinya berat. Pemerintah berpotensi menjadi regulator sekaligus pelaku usaha, yang membuka risiko konflik kepentingan dan pelemahan posisi negara di forum arbitrase.
Selain itu, bila terjadi sengketa, aset negara bisa diagunkan untuk menanggung tanggung jawab hukum. Hal ini berbeda bila pelaku usaha adalah BUMN, karena bentuk tanggung jawabnya bersifat terbatas.
Mustiko menambahkan, usulan dari Aspermigas diharapkan dapat memberikan kepastian hukum serta iklim investasi yang sehat di sektor migas nasional.
Selanjutnya: Pemerintah Susun Aturan Baru Pajak Kripto, Pelaku Industri Minta Dilibatkan
Menarik Dibaca: IHSG Naik 0,7% di Akhir Sesi I, Saham DCII Sumbang Separuh Kekuatan Indeks
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News