kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.290.000   -15.000   -0,65%
  • USD/IDR 16.653   -5,00   -0,03%
  • IDX 8.164   -20,19   -0,25%
  • KOMPAS100 1.136   -7,73   -0,68%
  • LQ45 832   -5,41   -0,65%
  • ISSI 282   -1,61   -0,57%
  • IDX30 437   -3,69   -0,84%
  • IDXHIDIV20 503   -5,62   -1,10%
  • IDX80 128   -0,88   -0,68%
  • IDXV30 136   -1,98   -1,44%
  • IDXQ30 139   -1,42   -1,01%

Banjir Impor jadi Biang Kerok Industri Tekstil, Ini Kata Kemenperin & Asosiasi


Minggu, 02 November 2025 / 18:35 WIB
Banjir Impor jadi Biang Kerok Industri Tekstil, Ini Kata Kemenperin & Asosiasi
ILUSTRASI. Karyawan mengukur kain di toko tekstil Pasar Cipadu, Tangerang, Banten, Kamis (29/8/2024). Ikatan Ahli Tekstil Indonesia (IKATSI) mengkhawatirkan wacana Kemenperin terkait pengalihan pintu masuk tujuh barang impor. Wacana itu, dikhawatirkan merusak rantai pasokan di industri tekstil. (KONTAN/Carolus Agus Waluyo)


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Putri Werdiningsih

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri tekstil menjadi satu-satunya sub sektor manufaktur yang mengalami kontraksi pada bulan lalu. Hasil ini merujuk pada survei dan analisis Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dalam Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Oktober 2025.

Kemenperin mencatat IKI Oktober 2025 masih mendaki di zona ekspansi, naik 0,48 poin secara bulanan ke level 53,50. Nilai IKI ini didapat dari survei dan analisis Kemenperin terhadap 23 sub sektor di industri manufaktur.

IKI Oktober 2025 menunjukkan sebanyak 22 sub sektor melaju di zona ekspansi. Artinya, hanya satu sub sektor di industri manufaktur yang mengalami kontraksi pada bulan Oktober. Sub sektor tersebut adalah industri tekstil (KBLI 13).

Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kemenperin, Alexandra Arri Cahyani mengungkapkan IKI Oktober 2025 untuk sub sektor tekstil mengalami kontraksi dengan berada di posisi 49,74. Hasil ini tak lepas dari kondisi industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) dalam negeri yang tengah menghadapi tantangan serius.

Kemenperin mengamini adanya banjir impor, yang tampak dari peningkatan volume impor produk tekstil yang signifikan. Terutama impor produk tekstil hilir yang melebih kebutuhan pasar domestik.

Baca Juga: Industri Tekstil Menanti Realisasi Janji Pemberantasan Impor Ilegal

Menurut Alexandra, fenomena banjir impor belakangan ini lebih banyak terjadi pada produk hilir industri TPT, terutama industri garmen.

"Sementara pada bahan baku, industri tekstil nasional masih membutuhkan pasokan impor untuk meningkatkan daya saing dan menjaga keberlanjutan rantai pasok industri hilir,” kata Alexandra dalam keterangan tertulis yang disiarkan pada Sabtu (1/11/2025).

Dampak dari banjir impor dirasakan langsung oleh pelaku industri tekstil dalam negeri, yang menghadapi tekanan pada harga jual dan penyerapan hasil produksi. Termasuk bagi industri hulu yang selama ini menopang pasokan benang dan kain lokal.

Alexandra menegaskan, Kemenperin mendukung penuh pernyataan dan upaya Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa, yang menegaskan akan memberantas mafia impor tekstil ilegal. "Kemenperin bersama kementerian dan lembaga terkait segera melakukan langkah pengendalian agar industri nasional tetap terlindungi,” tegas Alexandra.

Sejumlah asosiasi yang bergerak di industri TPT ikut menyoroti kondisi ini. Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) David Leonardi, menekankan bahwa posisi industri tekstil sebagai satu-satunya sub sektor manufaktur yang mengalami kontraksi pada IKI Oktober 2025 merupakan sinyal serius atas tekanan berkelanjutan yang dihadapi sektor TPT nasional.

"Kontraksi ini mencerminkan melemahnya permintaan, baik dari pasar ekspor maupun domestik, yang selama beberapa bulan terakhir semakin tertekan oleh masuknya produk impor murah, terutama dari Tiongkok dan Vietnam," ungkap David saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (2/11/2025).

Baca Juga: Pebisnis Konveksi Desak Bea Cukai Perketat Pengawasan Impor Pakaian Ilegal

Pada saat yang bersamaan, biaya produksi dalam negeri masih tinggi, baik dari sisi energi, logistik, maupun bahan baku. Situasi ini menyebabkan daya saing industri TPT semakin tergerus.

Secara umum, imbuh David, pelaku industri mencatat penurunan utilisasi kapasitas produksi dan adanya penyesuaian jam kerja di beberapa pabrik. API pun menuntut tiga langkah cepat dari pemerintah. Pertama, memperkuat pengawasan impor secara konsisten dan selektif.

Kedua, meningkatkan efisiensi logistik dan energi industri. Ketiga, mempercepat implementasi kebijakan perlindungan dan hilirisasi industri tekstil dalam negeri.

Dihubungi terpisah, Ketua Umum Asosiasi Garment dan Textile Indonesia (AGTI) Anne Patricia Sutanto menyoroti persaingan tidak sehat akibat impor ilegal, terutama pakaian bekas (balpres), masih menjadi tantangan besar bagi industri tekstil nasional. AGTI mendukung penuh langkah pemerintah untuk memperkuat pengawasan dan penegakan hukum.

Anne menekankan bahwa praktik impor pakaian bekas tidak hanya merusak struktur pasar domestik, tetapi juga mengancam jutaan lapangan kerja di sektor padat karya.

"Bagi AGTI, pakaian bekas impor ilegal harus diperlakukan setegas barang terlarang lainnya, sebab dampaknya terhadap industri lokal bersifat sistemik dan berkepanjangan," terang Anne.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menyoroti hal yang sama. Menurut Redma, prospek industri tekstil masih akan buram selama pemerintah tidak menciptakan iklim bisnis dan persaingan pasar yang fair melalui pemberantasan importasi ilegal dan penindakan terhadap importasi dumping.

"Barang-barang impor ini sudah menguasai pasar. Sebagian produsen sudah mengurangi produksi sangat banyak karena stok digudang mereka menumpuk tidak bisa terjual, hingga mereka kesulitan cashflow untuk beli bahan baku," kata Redma.

Redma menanti ketegasan pemerintah untuk menghentikan impor tekstil dan pakaian ilegal, sehingga bisa menghidupkan industri dalam negeri.

"Ini sangat penting agar industri hilir, khususnya orientasi pasar domestik yang didominasi oleh industri kecil menengah bisa pulih lebih dahulu, sehingga bisa meningkatkan demand bagi industri antara dan industri hulu," tandasnya.

Baca Juga: Dukung Upaya Buruh Tekait Kenaikan Upah, APSyFI Minta Pemerintah Atasi Banjir Impor

Tantangan & Peluang di Pasar Ekspor

Selain berhadapan dengan banjir impor produk tekstil legal maupun ilegal di pasar dalam negeri, pada saat yang sama pelaku industri TPT juga perlu mencermati tantangan dan peluang di pasar ekspor. 

Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kemenperin Rizky Aditya Wijaya menjelaskan bahwa kontraksi industri tekstil pada bulan Oktober juga disebabkan oleh penyesuaian siklus permintaan, terutama dari pasar internasional.

Kondisi ini terjadi seiring dinamika perdagangan global dan tren di industri fesyen menjelang pergantian tahun. Perlambatan di industri tekstil terutama disebabkan oleh variabel pesanan baru. Hal ini dipengaruhi oleh penyesuaian stok di negara tujuan ekspor seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa.

Menurut Rizky, fenomena serupa juga terjadi di negara produsen besar tekstil lain seperti China, India, dan Vietnam, yang sedang menyeimbangkan siklus pengiriman dan mengoptimalkan efisiensi rantai pasok global.

"Kami optimistis memasuki akhir tahun 2025, industri tekstil Indonesia akan kembali bergerak menuju fase ekspansi," ujar Rizky.

Anne Patricia, yang juga menjabat sebagai Ketua Bidang Perdagangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengamini industri tekstil global tengah mengalami proses realignment antara sisi pasokan dan permintaan. Di AS dan Uni Eropa sebagai dua pasar utama tekstil dunia, para retailer besar melakukan koreksi inventori dan memperpendek siklus pemesanan (shorter order cycle) dari semula 6–8 bulan menjadi rata-rata 3–4 bulan.

Kondisi ini berdampak pada redistribusi volume order dari kuartal IV-2025 ke kuartal I-2026, khususnya untuk kategori woven fabric, polyester filament, dan blended yarn. Anne menyatakan bahwa sebagian pabrik di Indonesia menyesuaikan jadwal produksi dan pengiriman, bukan melakukan pengurangan kapasitas permanen.

"Bagi pelaku industri, periode ini justru dimanfaatkan untuk melakukan optimasi mesin, efisiensi energi, serta pengendalian stok bahan baku sebagai bagian dari strategi menjaga daya saing menjelang musim order baru," ungkap Anne.

Pada saat yang sama, pasar domestik mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan, seiring dengan implementasi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 17 Tahun 2025. Anne menilai Permendag ini cukup efektif menahan arus barang jadi impor dan memperkuat keterkaitan antara sektor kain dan garmen nasional.

"Tingkat utilisasi mesin di segmen kain rajut dan tenun saat ini relatif stabil pada kisaran 70%–75%, mencerminkan aktivitas produksi yang terkendali di tengah fase normalisasi global," tandasnya. 

Selanjutnya: BSI Beberkan Beberapa Strategi Penguatan Manajemen Risiko

Menarik Dibaca: 7.500 Pelari Ramaikan PLN Electric Run 2025, Kurangi Emisi dari Setiap Langkah Lari

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Tag


TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×