Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketergantungan Indonesia terhadap bahan baku susu impor masih sangat tinggi. Sekitar 80% kebutuhan susu nasional hingga kini masih dipenuhi dari impor, sementara produksi dalam negeri baru mampu menutup sekitar 20%.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, M. Rizal Taufikurahman, menilai kondisi ini mencerminkan lemahnya struktur hulu industri pengolahan susu nasional yang belum efisien dan terintegrasi.
“Industri pengolahan susu nasional masih terjebak dalam struktur hulu yang lemah dan tidak efisien, sehingga menyebabkan ketergantungan tinggi terhadap bahan baku impor hingga 80%,” ujar Rizal kepada Kontan, Selasa (14/10/2025).
Ia menjelaskan, rantai pasok domestik belum terhubung secara produktif antara peternak kecil, koperasi, dan industri besar. Produktivitas sapi perah di Indonesia yang masih rendah sekitar 10–12 liter per ekor per hari, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan industri yang terus meningkat.
Baca Juga: Shell Buka Peluang Kembali ke Hulu Migas Indonesia, SKK Migas Buka Pintu Lebar
“Secara ekonomi, hal ini memperlihatkan adanya asimetri daya saing dan kegagalan mencapai skala ekonomi optimal. Karena itu, pelaku industri lebih rasional memilih bahan baku impor yang stabil, efisien, dan konsisten mutunya,” ungkap Rizal.
Selain keterbatasan pasokan, ia menilai kesenjangan antara produksi lokal dan impor juga dipengaruhi oleh faktor harga dan kualitas.
Harga susu segar dalam negeri yang relatif tinggi, yakni sekitar Rp 7.000 – Rp 8.000 per liter, membuat industri menghadapi tekanan biaya, sementara kandungan total solid yang rendah (sekitar 10–11%) memperlemah efisiensi proses produksi.
Di sisi lain, infrastruktur rantai dingin dan sanitasi yang belum memadai memperbesar risiko penurunan kualitas susu segar. Dalam konteks ini, Rizal menilai pilihan industri terhadap bahan baku impor bukan semata karena preferensi, tetapi karena logika efisiensi dan kebutuhan menjaga kontinuitas produksi.
Lebih jauh, ia menyoroti kemitraan antara industri pengolahan susu dan peternak lokal yang selama ini masih bersifat formalitas dan jangka pendek.
“Kemitraan yang tidak disertai co-investment, transfer teknologi, dan mekanisme pembagian risiko hanya menjadikan peternak sebagai pemasok, bukan mitra strategis,” kata Rizal.
Menurutnya, hanya beberapa koperasi seperti KPSBU Lembang dan KPBS Pangalengan yang menunjukkan praktik kemitraan produktif, namun belum mampu terduplikasi secara nasional.
Banyak peternak kecil masih menghadapi kendala struktural seperti keterbatasan akses modal, teknologi pakan, dan sarana pendinginan.
Rizal menegaskan bahwa persoalan mendasar industri susu Indonesia bukan semata kekurangan volume produksi, melainkan ketimpangan struktur dan rendahnya produktivitas di sisi hulu.
“Selama transformasi kelembagaan dan efisiensi peternak tidak terjadi, substitusi impor hanya akan menghasilkan kemandirian semu, diolah di dalam negeri, tapi tetap bergantung pada bahan baku luar negeri,” pungkas Rizal.
Ia menilai, reformasi sistem kemitraan dan investasi bersama menjadi prasyarat utama untuk memperkuat sektor ini.
“Kemandirian pangan tidak cukup dengan regulasi. Ia harus dibangun lewat produktivitas, teknologi, dan kemitraan yang setara antara industri dan peternak,” ujarnya.
Baca Juga: Impor Susu Capai 80%, GKSI Usul Dua Langkah Perkuat Produksi Dalam Negeri
Selanjutnya: Pelemahan Rupiah Berlanjut, Dipicu Ketegangan Dagang AS-China
Menarik Dibaca: Pendaftaran Sunrise Society Ke Tiga Sudah Dibuka, Bank Saqu Take Over GBK
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News