Reporter: Dimas Andi | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Ketergantungan Indonesia terhadap impor kedelai tampak masih cukup tinggi. Sebagian besar kedelai yang diimpor menyasar ke industri pengolahan makanan seperti tempe dan tahu.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengimpor 2,16 juta ton kedelai atau senilai US$ 1,15 miliar pada Januari--September 2024. Angka ini sudah mendekati realisasi impor kedelai nasional pada 2023 yakni 2,27 juta ton atau senilai US$ 1,47 miliar.
Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifuddin mengatakan, bukan tidak mungkin impor kedelai bisa mencapai kisaran 2,6 juta ton sampai akhir 2024 seiring permintaan di dalam negeri yang tinggi. Apalagi, kemampuan Indonesia untuk memproduksi kedelai masih rendah.
Baca Juga: Harga Kedelai Impor Turun, Pengrajin Tahu-Tempe Bernapas Lega
"Kebutuhan kedelai nasional kira-kira 3 juta ton setahun, tapi produksi lokal hanya bisa mengkaver 10% saja," ujar dia, Senin (3/12).
Aip menyebut, hampir seluruh kedelai yang diimpor Indonesia masuk dalam kategori grade 1 atau untuk makanan seperti tempe dan tahu yang dikonsumsi oleh manusia. Hal ini berbeda dengan negara-negara importir kedelai lainnya, seperti China yang turut menggunakan komoditas tersebut untuk keperluan pakan ternak hingga minyak kedelai.
Beruntung, tingginya impor kedelai terjadi ketika harga komoditas ini menurun di pasar global. Berdasarkan data Trading Economics, harga biji kedelai menyusut 25,18% year on year (yoy) ke level US$ 9,92 per bushel pada Selasa (3/12).
Sementara menurut data Panel Harga Badan Pangan Nasional, harga rata-rata biji kedelai kering impor di tingkat pengecer berada di level Rp 10.790 per kilogram (kg) pada Selasa (3/12). Angka ini juga jauh lebih rendah dibandingkan harga komoditas yang sama pada awal 2024 yang sempat menyentuh level Rp 13.430 per kg.
Baca Juga: Industri Sawit Bersiap Hadapi Pajak CPO yang Segera Ditetapkan India
Secara umum, penurunan harga kedelai ini dipengaruhi oleh pelemahan permintaan dari China di saat produksi kedelai di Brasil tengah melonjak signifikan. "Harga kedelai yang turun akan meringankan beban produsen tempe tahu," tutur Aip.
Gakoptindo pun tidak menutup kemungkinan impor kedelai oleh Indonesia akan terus meningkat pada 2025. Terlebih lagi jika program makan bergizi gratis mulai bergulir. Tempe dan tahu pun berpotensi jadi menu dalam program tersebut, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kebutuhan kedelai.
Di sisi lain, Gakoptindo menilai jalan Indonesia untuk mencapai swasembada kedelai masih cukup jauh.
Salah satu tantangan terbesarnya adalah para petani cenderung kurang menyukai menanam kedelai lantaran potensi keuntungannya tidak sebesar menanam padi. Padahal, masa produksi kedelai dan padi dari penanaman hingga panen relatif sama yakni sekitar tiga bulan.
Baca Juga: Gapmmi: Pelemahan Rupiah Berdampak Pada Kenaikan Produksi Sebesar 3%
"Kalau menanam kedelai satu hektare, petani bisa panen sekitar dua ton. Tapi kalau tanam padi satu hektare, mereka bisa panen hingga enam ton, sehingga lebih produktif dan potensi untungnya lebih besar," ungkap Aip.
Tak heran, sentra produksi kedelai di Indonesia cenderung terbatas yakni di wilayah Kalimantan Tengah dan Papua. Kondisi ini agak disayangkan Gakoptindo yang mengklaim kedelai lokal sebenarnya punya kualitas dan cita rasa yang lebih baik dari kedelai impor.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News