Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja industri batubara sepanjang 2024 berjalan beriringan dengan beberapa 'pemberat' atau kewajiban industri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Pertama, ada kewajiban pembayaran kepada pemerintah atau royalti batubara yang diatur dalam PP Nomor 26 Tahun 2022. Adapun, tarif royalti ini berlaku secara progresif yang disesuaikan dengan harga batubara acuan (HBA).
Kedua, batubara masuk dalam komoditas unggulan yang harus 'memarkirkan' devisa hasil ekspor (DHE). Peraturan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2023 tentang komoditas unggulan ekspor yang diwajibkan untuk memarkirkan DHE.
Dalam peraturan ini, batubara tidak sendiri, sumber daya alam (SDA) lain yang terkena DHE antara lain adalah fero nikel, gas alam, minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), pulp and paper, hingga timah.
Baca Juga: Ini Beragam Beban di Industri Pertambangan Batubara
DHE membuat para pengusaha batubara yang melakukan ekspor harus 'memarkirkan' hasil devisa mereka selama rentang waktu minimal 3 bulan dengan besaran 30 persen dari total ekspor.
Tapi baru-baru ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pihaknya bersama dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah menggodok masa waktu dan persentase devisa yang harus terparkirkan.
Potensinya, waktu akan bertambah serta persentase devisa akan semakin besar. Ini terlihat dari penjelasan Airlangga soal insentifikasi yang menjadi dasar revisi DHE ini.
"DHE yang 30% implementasinya sudah baik, sudah hampir 90% compliance dan diperkirakan sampai akhir tahun bisa sekitar 14 billion. Nah tentu akan kita intensifikasikan lagi," kata Airlangga di Jakarta, Kamis (19/12).
Yang ketiga, industri batubara dalam negeri juga berhadapan dengan Domestic Market Obligation (DMO) atau kebijakan yang mewajibkan badan usaha pertambangan untuk mengutamakan pasokan batubara untuk kebutuhan dalam negeri.
Dengan produksi batubara sepanjang tahun ini yang diprediksi mencapai 710 juta ton, volume DMO yang harus disetorkan adalah sebesar 181,3 juta ton.
Dalam penerapannya, volume DMO ini digunakan untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) milik PT PLN (Persero) ini telah dipatok harganya US$70 per ton. Sesuai dengan ketentuan pemerintah yang tertuang dalam dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 139.K/HK.02/MEM.B/2021. Sementara itu, harga DMO batubara untuk keperluan di luar PLTU adalah US$ 90 per ton.
Baca Juga: Industri Tambang Bersiap Hadapi Tantangan Baru, Menyusul Revisi DHE SDA
Terkait hal ini, Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia mengakui bahwa industri batubara cukup tertekan dengan beban-beban di atas.
Terlebih, ketiga kewajiban ini bergerak bersamaan dengan merosotnya harga jual rata-rata atau average sales price batubara di pasar global sepanjang tahun 2024.
"Harga jual rata-rata di 2024 lebih rendah dari tahun sebelumnya. Di sisi lain biaya produksi meningkat yang berpengaruh terhadap profitablitas," kata Hendra saat dihubungi Kontan, Senin (23/12).
Adapun, terkait DHE, Hendra mengatakan pihaknya berharap pemerintah tidak mengubah persentase dari devisa hingga waktu pengendapan dana seperti yang direncanakan tahun depan.
"Untuk kebijakan DHE sebaiknya tidak berubah atau bahkan bisa dipertimbangkan relaksasi agar profitablitas perusahaan lebih bagus sehingga perusahaan bisa berinvestasi di era transisi energi," tambahnya.
Ketua Badan Kejuruan Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia (BK Pertambangan PII) sekaligus mantan Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli mengatakan aturan DHE ini akan membuat aliran kas (cashflow) perusahaan tersendat karena keuntungan dari penambangan batubara yang bervariasi.
"Ini berkisar antara 20% - 30%, sedangkan DHE yang ditahan adalah 30%. Oleh karena itu untuk membayar kewajiban-kewajiban termasuk operasional Perusahaan harus meminjam dana cash kepada bank dengan bunga yang lebih tinggi dibandingkan deposito-nya," katanya.
Baca Juga: Wajib Parkir DHE Naik, Eksportir Tambang dan Perkebunan Sawit Keberatan
Ia mengatakan, dalam jangka panjang hal ini akan berdampak ke industri pertambangan terutama yang terkait dengan biaya modal (cost of fund) akan lebih tinggi yang mengakibatkan biaya produksi akan meningkat.
"Jika biaya produksi meningkat maka ada dua pengaruh yakni cadangan batubara (reserve) akan turun karena penurunan stripping ratio (SR) ataupun keuntungan Perusahaan akan turun," jelasnya.
Dalam kesimpulannya, Rizal mengatakan kewajiban-kewajiban ini memang memberikan beban yang cukup signifikan bagi perusahaan-perusahaan batu bara dalam negeri.
"Dana Hasil Ekspor yang harus disetorkan ke bank domestik bisa mengurangi likuiditas, royalti yang tinggi berdampak pada keuntungan yang bisa diperoleh, dan DMO memberikan tekanan pada harga jual batubara. Bagi perusahaan dengan margin keuntungan yang sempit, kewajiban-kewajiban ini dapat membatasi ruang gerak finansial mereka," tutupnya.
Selanjutnya: Dolar AS Sulit Ditaklukkan Mata Uang Utama Saat Kepemimpinan Trump
Menarik Dibaca: Toyota Yaris Cross HEV Meraih Penghargaan Most Worthy Car di Uzone Choice Award 2024
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News