Sumber: KONTAN |
JAKARTA. Perang isu seputar rokok memang belum berakhir di Padang Panjang. Bagi penggiat antirokok, fatwa MUI adalah jalan untuk mengurangi atmosfer bumi dari asap rokok. Namun, pengusaha rokok dan petani tembakau jelas menganggap fatwa ini jalan kematian sandang pangan mereka.
Sejauh ini, asosiasi pengusaha rokok tampaknya belum menunjukkan sikap yang jelas atas fatwa haram merokok tersebut. Gabungan Pengusaha Rokok Kretek Indonesia (Gaprindo) dan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) baru akan membahas fatwa ini pada awal Februari nanti.
Ketua Gaprindo Ismanu Sumiran mengatakan, fatwa ini pasti mempengaruhi industri rokok. Namun dia belum bisa menghitung seberapa besar pengaruhnya. “Jumlahnya berapa saya tidak bisa memastikan,” ujar dia.
Masalahnya, Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Abdus Setiawan mengungkapkan, industri rokok lebih tahan dengan guncangan ketimbang petani tembakau. “Petani itu jauh lebih rentan, bisa habis duluan,” keluh Abdus.
Abdus bilang, para petani khawatir pabrik rokok akan mengurangi permintaan tembakau. Kalau permintaan tembakau berkurang, otomatis tentu akan mengurangi penghasilan petani. Kalau pengurangan itu dalam jumlah besar, tentu bencana bagi petani tembakau.
Catatan APTI, saat ini ada sekitar 600.000 petani tembakau.Kalau MUI gencar bersosialisasi dengan fatwa ini, Abdus tidak bisa membayangkan bagaimana nasib para petani dan buruhnya. “Kalau masing-masing petani punya 4 anggota keluarga, ada 2,4 juta jiwa yang terkatung-katung,” cetus Abdus.
Perkebunan tembakau di Indonesia tercatat seluas 203.000 hektare (ha). Area itu tersebar di Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, dan Sumatra Utara.
Petani tembakau di Jember, Jawa Timur, Abdurrahman juga mengkhawatirkan fatwa MUI tersebut. “Sekarang memang belum berpengaruh. Tapi, kalau sampai dipatuhi, bagaimana nasib saya dan buruh-buruh saya?” keluhnya. Abdurrahman memiliki lahan tembakau seluas 64 ha. Per hektarenya butuh minimal 50 buruh. Kalau sampai fatwa itu berjalan, buruh-buruh itu akan kehilangan penghasilan utama Rp 20.000 per hari.
Abdurrahman menambahkan, setiap satu hektare tanaman tembakau menghasilkan 15 kuintal tembakau kering seharga Rp 2,4 juta per kuintal.
Abdus mengingatkan, saat Indonesia didera krisis ekonomi pada 1998 silam, semua industri terkapar, omzet rokok tetap. Artinya rokok mampu menyumbang tidak hanya pada masa aman, tapi juga saat krisis. “Kalaupun peradaban ini berkehendak lain, artinya stop merokok, kami akan terima. Tapi, mbok, ya, yang natural gitu, lo,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News