Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perusahaan tambang mulai menyicil pengurangan emisi karbon supaya siap menghadapi perdagangan karbon yang mulai efektif berlaku pada seluruh sektor di 2025 mendatang.
Saat ini pemerintah telah melakukan uji coba perdagangan karbon di sejumlah PLTU sejak 2021. Pemerintah pun telah menetapkan Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi (PTBAE) mulai dari PLTU non mulut tambang (MT)/MT berkapasitas 25 MW sampai dengan 100 MW sebesar 1,297 ton CO2e/MWh, hingga PLTU non MT berkapasitas besar dari 400 MW sebesar 0,911 ton CO2e/MWh.
Selain itu, pemerintah telah menetapkan nilai Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU) kepada 99 unit PLTU batubara dari 42 perusahaan yang akan menjadi peserta perdagangan karbon, dengan total kapasitas terpasang mencapai 33.569 MW.
Baca Juga: Bisnis Karbon,Peluang dan Potensi Pelanggaran Komitmen
Nilai karbon yang diperdagangkan antar unit PLTU di dalam negeri harganya diperkirakan mulai dari US$ 2 hingga US$ 18 per ton.
Ketua Indonesia Mining & Energy Forum (IMEF), Singgih Widagdo menjelaskan, pelaksanaan perdagangan karbon di tahun ini baru sebatas untuk PLTU Batubara.
“Implementasi bursa karbon PLTU Batubara ini melalui mekanisme pajak yang didasarkan pada batas emisi (cap and tax),” ujarnya kepada Kontan.co.id, Selasa (1/8).
Adapun perdagangan karbon yang melibatkan sektor lain secara penuh, termasuk ke sektor pertambangan, akan dilakukan pemerintah pada 2025 dengan mempertimbangkan kondisi industri, ekonomi, hingga dampak yang terjadi.
Baca Juga: Aliran Dolar dari Bisnis Karbon, Tak Kasat Mata Tapi Nilainya Mempesona
Sejalan dengan itu, Singgih menilai, sebaiknya industri pertambangan batubara harus bersikap forward looking dengan mulai memikirkan detail diversifikasi bisnis ke berbagai proyek penyerapan karbon.
“Salah satunya PLTU Batubara sebagai konsumer utama dalam proyek Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS) dan pilihan teknologi lainnya,” ujarnya.
Saat ini, Singgih juga tengah melihat upaya perusahaan tambang mengurangi emisi yang dihasilkannya. Misalnya saja dengan mengurangi konsumsi kebutuhan solar dalam kegiatan operasionalnya hingga membangun PLTS di berbagai titik di wilayah pertambangan.
Di sisi lain, untuk menghasilkan produk lanjutan batubara yang mendukung transisi energi, pemerintah juga memperkuat hilirisasi batubara.
“Namun bagi saya, terpenting industri mulai mempersiapkan sebelum implementasi seluruh industri diberlakukan setelah tahun 2025,” ujarnya.
Sebelumnya, Staf Khusus Percepatan Bidang Tata Kelola Minerba Kementerian ESDM, Irwandy Arif menyatakan, pihaknya telah menerapkan beberapa strategi dari hulu ke hilir untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) di sektor pertambangan.
Baca Juga: Pertamina Menanti Regulasi Perdagangan Karbon
Di sisi hulu tambang, tingkat produksi batubara akan mengikuti permintaan pembangkit listrik tenaga (PLT) batubara.
“Selain itu hulu juga mulai menggunakan bahan bakar nabati (B20 dan B30) untuk menggantikan minyak/fosil, pengalihan PLT diesel dan batubara menjadi PLT energi baru terbarukan (EBT), cofiring biomassa di PLT batubara, serta serta reklamasi lahan bekas tambang,” ujarnya.
Di sisi hilir, pemerintah akan mendorong penggunaan cofiring biomassa pada PLT batubara; mengganti PLT diesel batubara menjadi EBT, penerapan teknologi batubara bersih (dengan menggunakan CCS (carbon capture storage)/ CCUS (carbon carbon usage and storage) dan IGCC (Integrated Gasification Combined Cycle ) pada PLTU batubara dan industri hilir batubara.
Salah satu perusahaan yang telah melaksanakan beberapa upaya transformasi energi ialah PT Bukit Asam Tbk (PTBA).
Melansir laman resminya, beberapa efisiensi penggunaan energi telah dilakukan Bukit asam melalui sejumlah inovasi. Misalnya saja, program elektrifikasi (Shovel Electric & Hybrid Dump Truck).
Baca Juga: Hingga Akhir Tahun, Indonesia Paradise (INPP) Optimis Revenue Bisa Tumbuh 20%-30%
Program ini bertujuan untuk efisiensi operasional untuk pengendalian biaya dan pengembangan perusahaan adalah Program Elektrifikasi (pemanfaatan peralatan penambangan berbasis listrik) di mana sebelumnya operasional penambangan didominasi dengan sistem penambangan berbasis BBM.
Implementasi Sistem Penambangan dengan peralatan penambangan berbasis listrik juga dirancang melalui tahapan-tahapan untuk menyesuaikan dengan target perusahaan jangka pendek dan jangka panjang, serta menyesuaikan dengan kesiapan peralatan.
Selain itu, program ini juga memberikan kontribusi bagi kelestarian lingkungan hidup, yaitu pengurangan emisi gas rumah kaca. Dari hasil Program Elektrifikasi dengan diimplementasikannya Shovel Listrik (PC3000- 6E) sebanyak 7 Unit dan Hybrid DT (Belaz-75135) sebanyak 40 unit untuk melakukan pengupasan tanah di Tambang Banko Barat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News