Reporter: Fitri Nur Arifenie | Editor: Sandy Baskoro
JAKARTA. Demi mengantisipasi penurunan permintaan dari Eropa, pelaku industri kehutanan Indonesia mulai mengerek target ekspor ke Asia, seperti China, Taiwan dan Timur Tengah. Tapi kelesuan tetap menggelayuti industri kehutanan Indonesia. Produksi kayu hutan alam terus menyusut seirama dengan melemahnya harga kayu.
Para pelaku industri kehutanan Indonesia mengklaim sudah memenuhi syarat perjanjian kemitraan sukarela atau voluntary partnership agreement (VPA) sektor kehutanan dengan Uni Eropa. Syarat itu seperti membangun sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) dan online system for information of timber legality atau sistem informasi legalitas kayu (SILK).
Soewarni, Ketua Badan Revitalisasi Industri Kayu (BRIK), menyatakan, para pelaku industri kayu olahan siap menerapkan aturan itu, meski saat ini baru 340-350 dari 513 produsen kayu di bawah BRIK yang memiliki SVLK. “Bagi yang belum punya SVLK, masih bisa ekspor, meski harus lewat inspeksi,” kata Soewarni, yang juga Ketua Asosiasi Pengusaha Kayu Gergajian dan Kayu Olahan Indonesia.
Para pelaku industri kehutanan kecewa dengan molornya penandatanganan VPA Indonesia dan Eropa. Kesepakatan itu sejatinya akan diteken November 2012, namun mundur menjadi April 2013, dan berlaku efektif September 2013. Alhasil, ini berpotensi menekan industri kayu Indonesia.
Demi mengantisipasi penurunan permintaan di Eropa, sejumlah perusahaan mulai mengerek ekspornya ke beberapa negara di Asia seperti China, Taiwan dan Timur Tengah. "Langkah ini bisa mengompensasi penyusutan pasar di Eropa," ungkap Soewarni, tanpa memerinci potensi pasarnya.
Purwadi, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), mengakui, industri kayu di Indonesia tengah lesu. Dari 290 pemegang hak pengusahaan hutan (HPH), hanya 130 pemegang HPH yang aktif menebang kayu. "Industri kehutanan di Indonesia memang sedang tidak baik," tutur dia.
Akibatnya, dari tahun ke tahun, produksi kayu terus menyusut. Selama dua tahun terakhir, produksi kayu mengalami penurunan sebesar 50%. Kemudian, pencapaian produksi kayu juga rendah. Misalnya saja, untuk tahun ini, dari target produksi 9 juta m3, kemungkinan, total realisasinya hanya 6 juta m3 atau sekitar 67%. Kondisi ini sedikit lebih baik dari pencapaian tahun 2011, dari target produksi kayu 9 juta m3, yang terealisir hanya 4 juta m3 atau 55,5%.
Pencapaian target produksi yang rendah ini tampaknya tidak terlepas dari harga kayu yang relatif rendah. Ini terjadi di antaranya karena krisis global yang mengakibatkan permintaan menurun.
Akibatnya, harga jual kayu menyusut. Harga kayu hutan alam saat ini hanya sekitar US$ 150 per m3. Angka ini tidak berubah selama dua tahun terakhir. "Sekarang saja, kayu meranti dihargai di bawah Rp 1 juta per m3," kata Purwadi.
Merosotnya produksi kayu hutan alam dikhawatirkan berdampak negatif ke industri hilir, seperti produsen kayu lapis (plywood), gergajian dan mebel. Saat ini, utilisasi industri kayu nasional hanya sekitar 30% dari total kapasitas terpasang. Misalnya, produksi kayu lapis atawa plywood pada tahun ini hanya sekitar 3 juta m3.
Kelesuan industri kayu ini rupanya mengakibatkan minat untuk mengurus sertifikasi legalitas kayu dan sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) relatif rendah. "Sampai dengan November 2012, baru ada 13 SVLK dan 77 PHPL," kata Purwadi.
Untuk mengatasi persoalan ini, menurut Purwadi, perlu komitmen para pemangku kepentingan agar industri kehutanan Indonesia, baik sektor hulu maupun hilir, kembali bergairah. (Selesai)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News