kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Siap salip Amerika Serikat, Indonesia berpotensi rajai pemanfaatan listrik panas bumi


Senin, 31 Agustus 2020 / 13:36 WIB
Siap salip Amerika Serikat, Indonesia berpotensi rajai pemanfaatan listrik panas bumi
ILUSTRASI. Pembangkit listrik panas bumi


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah terus menggali potensi panas bumi untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi listrik. Upaya ini dilakukan untuk menggenjot bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sekaligus berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca.

Direktur Panas Bumi Ditjen EBKTE Kementerian ESDM Ida Nuryatin Finahari mengungkapkan, potensi panas bumi yang terkandung di Indonesia sangat berlimpah. Hingga kini, sudah ada 2.130,7 Megawatt (MW) kapasitas terpasang listrik yang mengalir dari 16 Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). 

Data kuartal II-2020 menunjukkan, produksi listrik dari panas bumi sudah mencapai 9.078 Gigawatt hour (GWh). Capaian tersebut membawa Indonesia sebagai negara kedua dengan pemanfaatan panas bumi terbesar di dunia. 

Baca Juga: Pemerintah optimistis capai target tambahan kapasitas panas bumi 140 MW di 2020

Indonesia hanya tertinggal dari Amerika Serikat (AS) yang memiliki kapasitas terpasang listrik dari panas bumi sebesar 3.676 MW. Di belakang Indonesia ada Filipina dengan 1.918 MW.

Tak lebih dari satu dekade ke depan, Indonesia diproyeksikan bakal mengungguli AS sebagai negara dengan pemanfaatan panas bumi terbesar di dunia. "Targetnya begitu (bisa menjadi produsen listrik panas bumi terbesar di dunia), mudah-mudahan tercapai," kata Ida saat dihubungi Kontan.co.id, akhir pekan lalu.

Merujuk pada data Badan Geologi per Desember 2019, sumber daya panas bumi di Indonesia mencapai 23.965,5 Megawatt (MW). Saat ini Indonesia memiliki 19 wilayah Kerja Panas bumi (WKP) eksisting, 45 WKP baru dan 14 Wilayah Penugasan Survey Pendahuluan dan Eksplorasi (WPSPE).

Ida menjelaskan, dalam roadmap pengembangan panas bumi periode 2020-2030, kapasitas terpasang listrik dari panas bumi akan terus menanjak setiap tahun dan bakal mencapai 8.007,6 MW pada tahun 2030. Pada saat itulah, Indonesia diproyeksikan dapat mengungguli Negeri Paman Sam untuk merajai pemanfaatan panas bumi di dunia.

"Kalau bisa mengembangkan sampai 8.000 MW ini, saya yakin kita akan berada di nomor satu di dunia, melewati Amerika Serikat (AS). Kami optimistis dengan itu," terang Ida.

Baca Juga: Kementerian ESDM lakukan persiapan eksplorasi panas bumi di kawasan Sukabumi

Untuk menggapai target tersebut, ESDM bersama dengan stakeholders terkait telah memetakan tantangan utama dalam pengembangan panas bumi. Mulai dari persoalan area prospek yang berada pada kawasan hutan konservasi, kelayakan tarif listrik proyek panas bumi, isu sosial dan perizinan, keterbatasan demand listrik setempat, hingga akses pendanaan sebelum Feasibility Studi (FS).

Berkaca dari sejumlah tantangan itu, pemerintah pun menerapkan strategi percepatan. Antara lain dengan penyiapan skema insentif atau pengaturan fixed tariff yang mempertimbangkan keekonomian proyek PLTP, pengembangan sumber daya panas bumi di wilayah Indonesia bagian timur, penciptaan demand, hingga join study dan knowledge sharing antar stakeholders.

Secara garis besar, sejumlah insentif dan dorongan pengembangan EBT akan diterapkan pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres) tentang pembelian tenaga listrik EBT. Perpres ini diklaim bakal memberikan dorongan yang positif bagi pengembangan EBT dalam bauran kelistrikan. Pasalnya, perpres ini akan mengatur formula tarif listrik dari sumber EBT agar bisa lebih kompetitif, termasuk untuk panas bumi.

Dalam suatu webinar beberapa waktu lalu, Ida sempat menyebut bahwa pemerintah bakal memberikan insentif untuk mengurangi risiko pengembang sehingga harga listrik pun bisa ditekan. Salah satu bentuk insentif yang disoroti ialah kompensasi yang akan diberikan pemerintah atas biaya eksplorasi pengembang.

Namun, Ida menekankan, kompensasi ini akan diberikan untuk pengembang yang sudah mendapatkan Izin Panas Bumi (IPB) tetapi belum melakukan kontrak jual-beli listrik Power Purchase Agreement (PPA) dengan PLN. Sebab, harga listrik yang ada di Perpres ini mengacu pada WKP baru yang sudah terlebih dulu dilakukan eksplorasi oleh pemerintah.

"Nah, bagaimana dengan WKP yang sudah kita berikan IPB kepada pengembang, tapi mereka belum ber-PPA dengan PLN? Inilah yang akan diberikan kompensasi biaya eksplorasi, karena mereka akan melakukan eksplorasi sendiri," jelas Ida.

Baca Juga: Pemerintah anggarkan Rp 89,6 triliun per tahun untuk tangani perubahan iklim

Selain kompensasi pada biaya eksplorasi tersebut, Kementerian ESDM juga mengusulkan adanya kompensasi jika tarif yang ada di perpres lebih tinggi dari biaya pokok penyediaan (BPP) pembangki listrik di wilayah.

"Bila tarif di dalam rancangan perpres ini lebih tinggi dari BPP, pemerintah akan membayar gap antara BPP dengan tarif yang ada di rancangan perpres ini. Ini salah satu insentif yang kami usulkan," ujar Ida.

Bentuk insentif lain yang bakal diberikan seperti peningkatan kualias data melalui pengeboran eksplorasi yang dilakukan oleh pemerintah. Dengan ini, risiko eksplorasi bakal berkurang, lantaran pelaku usaha sudah memiliki gambaran potensi sumber daya di WKP yang ditawarkan.

"Sehingga WKP bisa segera dikembangkan. Ini mempercepat, misalkan yang tadinya butuh waktu 10 tahun (pengembangan panas bumi hingga beroperasi/COD) nanti paling lama lima tahun sudah COD. Kami harapkan begitu," ujar Ida.

Pemerintah juga tengah menggelar persiapan untuk melakukan eksplorasi periode 2020-2024 untuk 20 wilayah panas bumi. Ida menggambarkan, potensi dari 20 wilayah panas bumi tersebut mencapai 683 MW yang tersebar di pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, Sumatra dan Kalimantan.

Untuk mencapai target pengembangan panas bumi di 2030, paling tidak sudah ada 41 WKP yang rencananya akan dilakukan pengeboran oleh pemerintah hingga tahun 2029. "Sehingga kami sudah mem-breakdown sampai 2030 agar bisa mencapai 8.007 MW, kami optimistis dengan itu," jelas Ida.

Bentuk optimisme serupa disampaikan oleh Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma. Menurut dia,  untuk mencapai target pengembangan panas bumi memang dibutuhkan terobosan untuk mengatasi tantangan dari sisi teknologi dan risiko, masalah finansial dan investasi, juga dukungan kebijakan.

Baca Juga: Kementerian ESDM Menggali Potensi Pembangkit Listrik Panas Bumi di 20 Wilayah

"Kami gembira sekarang Indonesia sudah menjadi nomor dua di dunia sebagai produsen panas bumi. Cita-cita untuk melampaui Amerika mungkin di 2030 Insya Allah bisa terlaksana," lanjut Surya.

Pada kesempatan terpisah, Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Priyandaru Effendi mengungkapkan masalah risiko pengembangan serta keekonomian tarif dan proyek menjadi tantangan utama pengembangan panas bumi selama ini. Oleh sebab itu, dia berharap Perpres EBT yang sedang disusun pemerintah bisa menjawab tantangan tersebut, dan bisa segera diberlakukan.

Menurutnya, sejumlah insentif dalam rancangan perpres ini, seperti pengeboran eksplorasi oleh pemerintah, merupakan suatu upaya baru yang cukup maju dalam mengembangkan panas bumi. 

"Kami berharap produk akhirnya akan bisa memberikan daya tarik bagi pengembang untuk tetap melanjutkan investasi atau memulai yang baru. Karena resources panas bumi yang ada di Indonesia sangat seksi dan menjanjikan," pungkas Priyandaru.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×