kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.919.000   11.000   0,58%
  • USD/IDR 16.358   57,00   0,35%
  • IDX 7.287   95,00   1,32%
  • KOMPAS100 1.038   11,82   1,15%
  • LQ45 788   8,41   1,08%
  • ISSI 242   4,64   1,96%
  • IDX30 408   5,59   1,39%
  • IDXHIDIV20 466   2,70   0,58%
  • IDX80 117   1,36   1,18%
  • IDXV30 118   0,01   0,01%
  • IDXQ30 130   1,58   1,23%

Tantangan dan Risiko Arus Impor AS ke Industri Alas Kaki


Kamis, 17 Juli 2025 / 20:17 WIB
Tantangan dan Risiko Arus Impor AS ke Industri Alas Kaki
ILUSTRASI. Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Taufiek Bawazier melepas ekspor alas kaki produksi PT Selalu Cinta Indonesia (SCI) di Salatiga, Jawa Tengah, Kamis (12/6).


Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Alas kaki (footwear) menjadi salah satu industri yang mengantisipasi komitmen Indonesia menerima impor dari Amerika Serikat (AS) terkait tarif dagang tambahan. 

Sejauh ini, pemerintah Indonesia baru menyatakan komitmen menerima impor dari AS untuk sejumlah barang tertentu. Namun, sikap ini turut membuka potensi terbukanya arus impor untuk produk-produk lain. 

Terkait itu, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Alas kaki Nusantara (HIPAN) David Chalik menyoroti soal produk-produk AS yang selama ini sudah masuk ke Indonesia, seperti pakaian, elektronik, dan tentunya alas kaki. Umumnya, produk-produk ini berasal dari merek ternama yang digemari pasar domestik. 

Jika impor barang-barang ini masuk kian deras ke Indonesia, tentu ini menjadi tantangan tersendiri bagi produsen lokal. Dalam hal ini, David bilang pemerintah perlu menunjukkan keberpihakannya kepada produsen lokal.

“Dengan risiko meningkatnya impor, pemerintah harus memberikan kemudahan bagi produsen lokal agar dapat bersaing dari sisi harga dan kualitas,” ungkap David kepada Kontan, Kamis (17/7). 

Baca Juga: Industri Alas Kaki Tarik Investasi Rp 8 Triliun dari 12 Perusahaan Asing

Kemudahan ini bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk. Misalnya, dengan mempermudah impor komponen produksi atau justru mengembangkan industri permesinan untuk mendukung proses produksi. 

Menurut David, jika Indonesia mampu menghasilkan produk berkualitas, bakal ada potensi pertumbuhan kinerja industri lebih lanjut. Dengan tarif tambahan 19% untuk Indonesia, terendah di Asia, industri footwear domestik bisa memperluas pasar di AS ketimbang negara-negara lain seperti China dan Vietnam.

Selain itu, David bilang pemerintah juga bisa menciptakan regulasi yang bersahabat kepada produsen lokal, misalnya terkait izin SNI, TKDN, dan lain-lain. 

Namun tak hanya dari pemerintah, David bilang dukungan juga diperlukan dari masyarakat sebagai konsumen. “Masyarakat diharapkan berpihak ke produk dalam negeri dan mengurangi paparan dari produk-produk impor,” katanya. 

Baca Juga: Tarif Timbal Balik Trump Terhadap Produk Alas Kaki Justru bisa Jadi Peluang

Risiko Tarif 19%

Di luar itu, David juga menyoroti potensi masuknya pabrik-pabrik luar negeri ke Indonesia untuk “nebeng” ke tarif rendah impor AS. “Jangan sampai pemerintah membuka celah kepada negara-negara asing untuk membuka pabrik dan menjual dengan label ‘made in Indonesia’,” katanya. 

Pasalnya, David menilai saat ini industri footwear domestik juga sudah susah payah bersaing dengan perusahaan-perusahaan China yang membuka pabrik di Indonesia. Meski pabrik-pabrik ini bisa menyerap tenaga kerja, pada akhirnya ini tetap menjadi tantangan besar bagi industri domestik.

Secara keseluruhan David menilai tarif 19% yang dicapai Indonesia merupakan berita baik. Namun, pemerintah tetap perlu mengantisipasi dampaknya di berbagai sektor. 

Baca Juga: Tarif Tambahan AS Ancam 3,6 Juta Pekerja Tekstil dan Alas Kaki RI

Selanjutnya: Klaim Tunjangan Pengangguran AS Turun, Pertumbuhan Lapangan Kerja Juli Stabil

Menarik Dibaca: Bikin Kenyang Lebih Lama, Ini 4 Manfaat Protein untuk Diet

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
[Intensive Workshop] AI-Driven Financial Analysis Executive Finance Mastery

[X]
×