Reporter: Leni Wandira | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah kembali menegaskan komitmennya untuk memberantas impor pakaian bekas (balpres) yang selama ini menjadi sumber utama bisnis thrifting di Indonesia.
Namun, pengamat ekonomi menilai kebijakan tersebut perlu diikuti dengan strategi transisi yang adil bagi pelaku usaha mikro yang bergantung pada perdagangan pakaian bekas.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, pelarangan impor tanpa solusi alternatif dapat menimbulkan dampak sosial dan ekonomi terhadap ribuan pedagang kecil yang menggantungkan penghasilan dari bisnis thrifting.
“Pemerintah jangan hanya fokus pada pelarangan. Harus ada program kompensasi dan strategi transisi bagi pedagang kecil yang selama ini menggantungkan hidup dari jualan pakaian bekas impor,” ujar Bhima kepada Kontan, Selasa (29/10).
Baca Juga: IPOC 2025 Bahas Tata Kelola & Daya Saing Sawit di Tengah Dinamika Perdagangan Global
Bhima menjelaskan, hingga kini belum ada rencana exit strategy yang jelas untuk pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) di sektor tersebut. Ia menyoroti tidak adanya skema bantuan untuk beralih ke produk domestik, maupun kemitraan dengan BUMN agar pelaku UMKM tetap bisa bertahan.
“Belum ada program pendampingan atau kemitraan bagi pelaku thrifting untuk beralih ke produk lain. Padahal pemerintah bisa menyiapkan pembiayaan murah atau model kemitraan dengan BUMN,” katanya.
Menurutnya, jika kebijakan ini dijalankan tanpa pendekatan komprehensif, maka risiko ekonomi justru akan muncul di tingkat hilir. Banyak pedagang di pasar-pasar besar seperti Pasar Senen atau Pasar Baru yang bisa kehilangan mata pencaharian, sementara arus barang ilegal berpotensi tetap masuk melalui jalur tidak resmi.
“Khawatirnya, pelarangan ini tidak efektif karena pintu masuk barang ilegal masih banyak. Yang dirugikan justru pedagang kecil di lapangan karena berhadapan dengan razia dan penindakan, tanpa ada solusi pengganti,” jelas Bhima.
Bhima juga menilai, pemerintah seharusnya menyiapkan kebijakan jangka panjang untuk memperkuat ekosistem daur ulang pakaian domestik.
Menurutnya, tren thrifting di kalangan anak muda tetap tinggi karena faktor harga dan daya beli, sehingga pemerintah bisa mengarahkan minat pasar ini ke produk bekas dalam negeri yang diolah kembali.
“Seharusnya tren thrifting diarahkan ke produk daur ulang domestik, bukan barang impor. Dengan begitu, ada nilai tambah di dalam negeri dan industri tekstil lokal tidak terpukul,” ujarnya.
Ia menegaskan, pelarangan impor pakaian bekas perlu dilihat bukan semata-mata sebagai penegakan hukum, tetapi juga kebijakan ekonomi yang menyangkut perlindungan industri lokal sekaligus keberlanjutan ekonomi mikro.
“Kalau hanya dilarang tanpa solusi, ini seperti memukul sektor mikro dari dua sisi — kehilangan barang jualan dan tidak punya akses ke usaha lain,” tutup Bhima.
Baca Juga: GAPKI Proyeksikan Kenaikan Harga CPO Imbas Implementasi B50
Selanjutnya: Soal UMP 2026, Pengusaha Harap Pemerintah Memperhatikan Ketidakpastian Ekonomi Global
Menarik Dibaca: Ada 23 Juta Orang Naik LRT Jabodebek Sejak Januari Hingga Oktober 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













