kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.360.000   29.000   1,24%
  • USD/IDR 16.616   9,00   0,05%
  • IDX 8.067   -160,68   -1,95%
  • KOMPAS100 1.104   -18,58   -1,66%
  • LQ45 772   -16,13   -2,05%
  • ISSI 289   -5,28   -1,79%
  • IDX30 403   -8,81   -2,14%
  • IDXHIDIV20 455   -7,63   -1,65%
  • IDX80 122   -2,25   -1,82%
  • IDXV30 131   -1,45   -1,10%
  • IDXQ30 127   -1,92   -1,49%

PP 45/2025 Dinilai Ganggu Keberlanjutan Industri Sawit Nasional


Selasa, 14 Oktober 2025 / 20:35 WIB
PP 45/2025 Dinilai Ganggu Keberlanjutan Industri Sawit Nasional
ILUSTRASI. Petani menimbang tanda buah segar (TBS) kelapa sawit seusai penan di area perkebunan kelapa sawit miliknya di Desa Suak Raya, Johan Pahlawan, Aceh Barat, Aceh, Selasa (23/9/2025). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/bar. Kalangan ahli hukum kehutanan menilai terbitnya PP Nomor 45 Tahun 2025 berpotensi menimbulkan gejolak baru di sektor perkebunan


Reporter: Leni Wandira | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kalangan ahli hukum kehutanan menilai terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2025 berpotensi menimbulkan gejolak baru di sektor perkebunan, khususnya kelapa sawit. 

Regulasi yang mengatur sanksi administratif dan PNBP di sektor kehutanan ini dinilai mengandung pendekatan penghukuman yang dapat mengganggu keberlanjutan industri sawit nasional.

Pakar Hukum Kehutanan Sadino mengatakan, PP tersebut disusun tanpa melibatkan para pemangku kepentingan sawit dan minim uji publik. Padahal, 42% lahan sawit nasional dikelola oleh petani kecil yang memiliki keterbatasan finansial dan administratif.

“PP ini mengubah paradigma kebijakan dari pembinaan menjadi pembinasaan, dari penataan menuju pengambilalihan. Bila PP 24/2021 masih memberi ruang penyelesaian, PP baru ini justru menutupnya,” ujar Sadino kepada Kontan, Selasa (14/10).

Baca Juga: Revisi UU Migas Rampung, Diharapkan Dapat Tingkatkan Daya Saing

Ia menilai, penetapan denda hingga Rp25 juta per hektare per tahun dalam PP 45/2025 sangat tidak rasional dan dapat mematikan kegiatan ekonomi sawit, terutama bagi pelaku kecil dan menengah. 

Bila penguasaan lahan sudah berlangsung 20 tahun, maka total denda bisa mencapai Rp375 juta per hektare, jauh melampaui nilai lahan sawit itu sendiri yang berkisar Rp50–100 juta per hektare.

“Dengan denda sebesar itu, pelaku usaha kecil bisa bangkrut, sedangkan korporasi besar pun akan terguncang arus kasnya. Bank akan kehilangan kepercayaan untuk menyalurkan kredit ke sektor ini,” jelas Sadino.

Menurutnya, kebijakan tersebut juga berpotensi menimbulkan efek domino berupa pemutusan hubungan kerja (PHK), penelantaran kebun, dan penurunan produksi sawit nasional. Ia bahkan menyebut, denda itu empat kali lipat dari nilai lahan dan disertai ancaman pengambilalihan lahan oleh BUMN, yang bisa mengarah pada inefisiensi tata kelola.

Dari sisi hukum, Sadino menilai PP 45/2025 menyimpang dari mandat undang-undang yang lebih tinggi, termasuk UU Cipta Kerja, UUPA, dan UU PNBP. Besaran denda, kata dia, seharusnya mempertimbangkan prinsip proporsionalitas dan rasionalitas—yakni sebanding dengan tingkat pelanggaran dan manfaat yang diperoleh.

“Semangat UU Cipta Kerja adalah korektif, bukan represif. Denda seharusnya mendorong kepatuhan, bukan mematikan usaha. Apalagi, kesalahan tata ruang di masa lalu juga akibat tumpang tindih kebijakan pemerintah sendiri,” ungkapnya.

Ia juga menilai, implementasi PP ini mengirim sinyal negatif ke investor global karena menciptakan ketidakpastian hukum.

“Penerapan aturan secara retroaktif membuat investor kehilangan kepastian. Indonesia bisa dipersepsikan sebagai high-risk investment country untuk sektor berbasis lahan,” tegasnya.

Sebagai solusi, Sadino mendorong pemerintah membuka kembali ruang dialog dengan pelaku sawit dan akademisi agar penegakan hukum kehutanan tetap sejalan dengan prinsip keadilan agraria.

“Kami berharap Bapak Presiden meninjau kembali PP 45/2025. Industri sawit adalah tulang punggung ekonomi nasional, penopang ekspor, dan sumber penghidupan jutaan petani. Jangan sampai kebijakan ini justru mematikan sektor strategis ini,” tutupnya.

Baca Juga: Belanja Lambat, Ekonomi Kuartal III Diprediksi Jadi yang Terendah di 2025

Selanjutnya: Sejumlah Emiten Sawit Caplok Hutan Tanpa Izin, Terancam Didenda dan Lahan Disita

Menarik Dibaca: Pendaftaran Sunrise Society Ke Tiga Sudah Dibuka, Bank Saqu Take Over GBK

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×